Wednesday, 10 September 2014

SUKU TORAJA

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.[1] Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.[2]
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.[3] Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.[4] Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.[5]

Identitas etnis

Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.[3] Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.[4] Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).[6]

Sejarah

Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja.[7] Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.[2] Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut.[8] Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.[2]
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja.[9] Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.[10] Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.[9]
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.[11]
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.[12] Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.[2]

Masyarakat

Keluarga

Sebuah perkampungan suku Toraja
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.[13] Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya.[14] Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.[15]

Kelas sosial

Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.[5]
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga,[16] tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan.[13] Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Agama

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.[17] Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.[9] Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.[18]
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.[19] Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.[10] Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

Kebudayaan

Tongkonan

Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.[15] Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.[20]
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

Ukiran kayu

Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.[21] Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.[21] Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri.[21] Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
Beberapa motif ukiran Toraja
pa'tedong
(kerbau)
pa'barre allo
(matahari)
pa're'po' sanguba
(menari)
ne'limbongan
(perancang legendaris)
sumber:[22]

Upacara pemakaman

Tempat penguburan Toraja yang diukir.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.[23]
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.[24] Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.[25]
Sebuah makam.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.[26]
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.[27] Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Musik dan Tarian

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong).[6][26] Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.[23] Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras[28] Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.[29]

Bahasa

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat,[1] akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.[30] Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.[6]
Keragaman dalam bahasa Toraja
Denominasi ISO 639-3 Populasi (pada tahun) Dialek
Kalumpang kli 12,000 (1991) Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
Mamasa mqj 100,000 (1991) Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
Ta'e rob 250,000 (1992) Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
Talondo' tln 500 (1986)
Toala' tlz 30,000 (1983) Toala', Palili'.
Torajan-Sa'dan sda 500,000 (1990) Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).
Sumber: Gordon (2005).[30]
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.[23] Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

Ekonomi

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.[11] Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.[2]
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.

Komersialisasi

Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa.[2] Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara.[31] "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali".[5] Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik),[4] dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989.[2] Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.[15]
Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh".[2] Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.[4]
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.[4]
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat,[5] sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.

Filosofi Tau

Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau.
Tarian Pagellu'
Kesenian tradisional, khususnya seni tari, sering ditampilkan masyarakat Toraja saat menyelenggarakan upacara adat. Suku Toraja menari untuk memperlihatkan perasaan mereka. Dan jenis tarian yang dipilih tentunya disesuaikan dengan makna dibalik tarian tersebut.

Misalnya dalam acara pemakaman, mereka menari sebagai ungkapan rasa duka cita sekaligus untuk menghormati dan menyemangati arwah almarhum yang dipercayai akan melakukan perjalanan menuju akhirat.

Salah satu jenis tarian yang dipertunjukkan untuk mengekspresikan rasa suka cita adalah Pa’Gellu’. Tarian ini biasanya dibawakan oleh para remaja. Mereka menari diiringi irama tabuhan gendang yang dimainkan empat remaja putra. Para penari yang disebut dengan ma’toding ini mengenakan busana serta aksesori berbahan emas dan perak, seperti keris emas (sarapang bulawan), kandaure, sa’pi’ Ulu’, tali tarrung, dan lain-lain.

Tarian Pa’Gellu sebenarnya melambangkan acara penyambutan terhadap para patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan membawa kemenangan. Tapi sekarang, tarian ini sudah sering dipertunjukkan pada upacara kegembiraan lainnya, seperti pesta pernikahan, pesta syukuran di musim panen, atau saat menyambut tamu kehormatan.

Saat tarian ini ditarikan, para penonton bisa menghampiri penari untuk menyelipkan uang di antara hiasan yang dipakaikan di kepala para penari.
WISATA TORAJA

Pallawa
Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai perahu, terdiri atas susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng). Di bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan dapur. Tongkonan digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan mayat. Tongkonan berasal dari kata tongkon (artinya duduk bersama-sama). Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau peran dalam masyarakat (stara sosial Masyarakat Toraja). Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem (bangah) saat ini sebagian sudah dicor. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari, yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.
Tongkonan Pallawa adalah salah satu tongkonan yang berada di antara pohon-pohon bambu di puncak bukit. Tongkonan tersebut didekorasi dengan sejumlah tanduk kerbau yang ditancapkan di bagian depan rumah adat. Terletak sekitar 12 Km ke arah utara dari Rantepao.


Londa
Londa adalah bebatuan curam di sisi makam khas Tana Toraja. Salah satunya terletak di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua yang dalam dimana peti-peti mayat diatur sesuai dengan garis keluarga, di satu sisi bukit lainya dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau. Londa terletak de Desa Sendan Uai, Kecamatan Sanggalai, sekitar 5 Km ke arah selatan dari Rantepao, Tana Toraja.



Ke'te Kesu

Ke’te Kesu berarti pusat kegiatan, dimana terdapatnya perkampungan, tempat kerajinan ukiran, dan kuburan. Pusat kegiatannya adalah berupa deretan rumah adat yang disebut Tongkonan, yang merupakan obyek yang mempesona di desa ini. Selain Tongkonan, disini juga terdapat lumbung padi dan bangunan megalith di sekitarnya. Sekitar 100 meter di belakang perkampungan ini terdapat situs pekuburan tebing dengan kuburan bergantung dan tau-tau dalam bangunan batu yang diberi pagar. Tau-tau ini memperlihatkan penampilan pemiliknya sehari-hari. Perkampungan ini juga dikenal dengan keahlian seni ukir yang dimiliki oleh penduduknya dan sekaligus sebagai tempat yang bagus untuk berbelanja souvenir. Terletak sekitar 4 Km dari tenggara Rantepao.

Batu Tumonga  


Di kawasan ini anda dapat menemukan sekitar 56 batu menhir dalam satu lingkaran dengan 4 pohon di bagian tengah. Kebanyakan batu menhir memiliki ketinggian sekitar 2 – 3 meter. Dari tempat ini anda dapat melihat keindahan Rantepao dan lembah sekitarnya. Terletak di daerah Sesean dengan ketinggai 1300 Meter dari permukaan laut.





Lemo

Lemo merupakan sebuah kuburan yang dibuat di bukit batu. Bukit ini dinamakan Lemo karena bentuknya bulat menyerupai buah jeruk (limau). Di bukit ini terdapat sekitar 75 lubang kuburan dan tiap lubangnya merupakan kuburan satu keluarga dengan ukuran 3 X 5 M. Untuk membuat lubang ini diperlukan waktu 6 bulan hingga 1 tahun dengan biaya sekitar Rp. 30 juta. Tempat ini sering disebut sebagai rumah para arwah. Di pemakaman Lemo anda dapat melihat mayat yang disimpan di udara terbuka, di tengah bebatuan yang curam. Kompleks pemakaman ini merupakan perpaduan antara kematian, seni dan ritual. Pada waktu-waktu tertentu pakaian dari mayat-mayat akan diganti dengan melalui upacara Ma Nene. Kuburan Batu Lemo ini terletak di sebelah utara Makale, Kabupaten Tana Toraja.

TUAK


   Bu’tunna te Tuak (Asal Muasal Tuak) 
Timbo adalah nama menampung tuak
Tuak !!! adalah minuman beralkohol yang disaring dari pohon enau atau pohon ijuk. Minuman ini berwarna putih seperti susu namun tuak lebih encer dibanding susu. Tak mudah untuk mendapatkan tuak dari pohon enau, bahkan tidak semua pohon enau dapat menghasilkan tuak yang baik. Ada pengetahuan khusus yang dimiliki oleh para pamba’ta (orang yang menyaring tuak dari pohonnya) sehingga tidak semua orang toraja mahir dalam mamba’ta (mengambil tuak dari pohonnya).




Mammi’ Kadekana te Tuak (Citarasa Tuak)
Terkadang cirikhas tuak dan rasanya berbeda beda tiap daerah di Toraja. Salah satu contonya tuak pa’buli. Tuak ini kebanyakan didapatkan didaerah Toraja Utara. Tuak pa’buli adalah juga tuak dari pohon enau namun tuak ini direndam dengan kulit kayu yang pahit selama beberapa jam sehingga rasanya agak pahit dan warnanya berubah menjadi sedikit kemerah merahan. Namun tuak pa’buli bukan bararti tidak ada di wilayah lain di toraja, hanya saja akan lebih sulit didapatkan dibanding diwilayah Toraja bagian utara. Lain halnya dengan istilah tuak balalo’. Tuak ini selalu diidentikkan dengan tuak yang rasanya kecut. Sementara menurut informasi balalo’ adalah nama sebuah kampung didaerah sangalla’. Kemungkinan tuak dari daerah ini rasanya rata rata kecut sehingga tiap tuak yang rasanya kecut diberi istilah “Tuak Balalo’ sekalipun tuak tersebut bukan berasal dari kampung Balalo’. Dibagian selatan tuak yang paling banyak digemari adalah tuak dari bera dan tuak dari palesan. Rasa tuak dari kedua daerah ini lebih sering masuk kewarung warung tuak di pasar Makale karna tuak ini kebanyakan sudah menjadi langganan bagi pemilik warung. Tuak yang dituliskan ini hanyalah sebagian kecil dari citarasa dan cirikhas tuak yang ada ditoraja.
Tuak Dio Tondok Senga’ (Keberadaan Tuak Diluar Daerah Toraja)

Di Toraja, tuak sangat mudah didapatkan bahkan setiap daerah memiliki warung yang menyajikan tuak entah itu di pasar maupun diluar pasar. Namun untuk warung tuak dipasar disebut galampang. Menurut cerita dari orang tua bahwa galampang artinya tempat untuk istirahat.
Tuak atau yang sering kita sebut ballo’ keberadaannya ditoraja sangat berbeda dengan daerah lain di luar toraja. Bila di toraja tuak (ballo) diperjualbelikan dengan bebas maka diluar toraja khususnya Makassar keberadaan tuak sangatlah langka. Adapun penjual tuak atau penikmat tuak enau yang ada di Makassar maka kemungkinan besar mereka adalah orang toraja yang besar di Makassar atau perantau dari toraja. Satu satunya lokasi penjual tuak (ballo) yang terkesan dilegalkan dimakassar adalah Kampung Rama. Penghuni wilayah ini mayoritas orang toraja. Maka tidak mengherankan bila ballo diwilayah ini tidak sulit untuk kita dapatkan. Konon nama kampung rama itu lahir dari penduduknya yang kebanyakan perantau dari Rantepao dan Makale dan disingkat RAMA yang artinya Rantepao dan Makale. Namun kebenaran dari cerita ini belum bisa dibuktikan. Bila berada di kampung rama ibarat kita berada di toraja, karna selain dari penduduknya yang mayoritas orang toraja, kehidupan masyarakatnya pun seperti kehidupan masyarakat di Toraja, bahkan beberapa bangunan khususnya pintu gerbang menuju kampung rama bila dari arah jln dg. Sirua, sebuah miniatur rumah khas Toraja terlihat jelas layaknya bangunan tongkonan diperbatasan Tana Toraja – Enrekang (salubarani) yang seolah menyapa dengan salam khas setiap pengunjungnya. Boleh dikata bahwa kampung rama adalah mekkahnya orang toraja atau mungkin lebih tepatnya Toraja mini. Segala makanan yang ada di toraja juga ada di kampung rama. Pa’tong (RW/duku asu), Tollo’ pamarrasan (kaloa), ban dalam (perut babi), Pantollo’ bulunangko (sayur mayana), Pa’piong (masakan daging dlm bambu), Utan Battae’ (daun singkong) sampai bakso babipun juga tersedia di kampun rama. Begitu pula dengan tuak (ballo) tidak ketinggalan dalam melengkapi kuliner ala toraja dikampung rama. Badong (tradisi dalam ritual upacara kematian) juga ada di kampung rama bila ada masyarakat yang berduka karna kematian.
Dari semua makanan dan ritual diatas, Tuak atau Ballo’ selalu hadir didalamnya. Sekalipun kehadiran tuak sebenarnya bukanlah hal yang wajib untuk dihadirkan dalam setiap ritual adat atau sebagai pendamping makanan khas toraja. Namun ketidakhadiran tuak menjadi sebuah hal yang asing bagi sebagian besar masyarakat toraja, entah karna kebiasaan ataukah kesenangan semata terhadap tuak, yang pastinya tuak telah menyatu dengan ritual adat atau budaya masyarakat toraja.
Angga’na Tuak Lan Katuoanna Toraya (Peranan Tuak Dalam Mesyarakat Toraja)
                Bila di Makassar hanya kampung rama menjadi sarangnya minuman tuak, sangat berbeda dengan toraja. Di daerah yang berhawa dingin ini menyajikan dan menjual tuak dimana saja. Tidak ada yang melarang selagi mereka menjual ditanah mereka. Bahkan tak segan, di depan kantor yang berwajib (polisi) sekalipun, penikmat tuak dan penjual tuak tetap melakukan transaksi tuak dan menegak minuman. Siapa yang mampu melarang??? Pihak keamanan, pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat semua tak mampu untuk membendung penikmat tuak di toraja. Yah mungkin karna mereka juga adalah penikmat tuak. Dikalangan pejabat pemerintah, bahkan ada yang menyiapkan minuman ini dalam acara acara mereka dan menjadikan tuak sabagai sajian untuk para tamu. Tak beda dengan para polisi yang juga menjadi penikmat tuak. Beberapa waktu yang lalu penulis malah sempat minum tuak (ballo) bersama dengan teman SMP dulu yang sekarang sudah jadi perwira Polisi bahkan masih lengkap dengan seragamnya. Tak sedikit tokoh agama dan tokoh masyarakatpun serupa dengan para penikmat tuak  lainnya. Adapula dalam ritual keagamaan, tuak sering hadir sebagai pelengkap kuliner. Terlebih lagi tokoh adat yang setiap melakukan ritual adat, tuak selalu menjadi minuman penghangat bagi mereka.
                Keterlibatan mereka menjadi penikmat tuak bukanlah sebuah perilaku yang salah di mata masyarakat toraja. Selama masih bisa diminum dan masih bisa mengontrol diri maka selama itu pula tuak masih berkenan untuk mendampingi para penikmatnya. Penikmat tuak ditoraja bukan hanya dari kalangan kaum adam saja. Tak jarang wanita dan pelajarpun juga menjadi penikmat tuak tanpa ada pengawasan dalam bentuk regulasi selain dari orang tua mereka sendiri.
                Dimana ada pesta disitu ada tuak. Begutulah kira kira gambaran tentang tuak di toraja. Jangankan dalam pesta adat atau ritual besar, sekelompok anak muda saja bila berkumpul di malam hari maka kemungkinan besar mereka sedang menikmati minuman khas toraja itu. Namun mereka bukanlah preman atau berandalan. Dalam syukuranpun tuak tak pernah absen diacara tersebut. Kehadiran tuak dalam setiap upacara adat atau keagamaan adalah sebuah hal yang tidak asing bagi masyarakat toraja.
                Bila peliharaan seperti kerbau (tedong), babi, bulangan londong (sabung ayam dalam bentuk paramisi) dan sebagainya adalah sebuah legitimasi dalam ritual adat toraja maka tuak tidak termasuk salah satunya. Atau dengan kata lain kehadiran tuak dalam ritual adat bukanlah hadir untuk melegitimasi atau melengkapi ritual adat. Tanpa kehadiran tuakpun sesungguhnya ritual dapat berlangsung. Namun kehadiran tuak hanyalah menjadi sebuah pendamping bagi masyarakat yang melakukan ritual adat. Atau mungkin tuak hanya hadir karna menyenangkan bagi masyarakat toraja atau hanya karna kebiasaan semata.
         Namun menurut ketua lembaga adat Pong Barumbun beberapa waktu yang lalu bahwa masyarakat Toraja sangat menghargai alam yang meyediakan segala kebutuhan masyarakat termasuk tuak. Menurutnya masyarakat Toraja selalu menyertakan tuak dalam kehidupan mereka karna tuak adalah pemberian alam. Entah ini benar atau hanya pembelaan saja terhadap penikmat tuak namun pada kenyataanya tuak sepertinya tidak lepas dari kehidupan masyarakat Toraja.
                Tuak Lan Tangngana Pasa’ (kehadiran tuak di tengah pasar)
Kehadiran tuak dalam keramaian seperti pasar bukanlah hal yang baru bagi masyarakat toraja. Untuk mendapatkan tuak maka lebih mudah kita dapatkan di tengah pasar. Pasar Makale contohnya. Di babangan (pintu gerbang) pasar kita sudah dapat melihat minuman itu dalam jerigen yang akan diperjualbelikan. Terkadang kemacetan di pasar diakibatkan oleh banyaknya penjual tuak yang berjejer di pinggir jalan bahkan tak jarang ada beberapa penjual tuak yang menempatkan tuaknya diatas bahu jalan sehingga menimbulkan kemacetan ditengah pasar.
Aturan pemerintah yang menetapkan hari hari pasar tidak mengurangi penjual tuak di pasar Makale. Terlebih bila bertepatan dengan hari pasar maka dapat dipastikan bahwa penjaul tuak akan semakin membeludak.
Galampang adalah sebuah nama yang diberikan untuk warung2 di tengah pasar. Warung warung tersebut berjejer di tengah pasar dan menyajikan berbagai makanan khas toraja. Bila di wilayah Rantepao warung makan yang paling dikenal adalah warung poi’ Buri’, maka di Makale nama warung solata yang dikelolah oleh pong Sherli cukup dikenal. Ada kemungkinan kedua nama warung ini sangat dikenal karna selalu menyajikan makanan khas toraja yang nikmat itu.
Galampang juga menyajikan  tuak. Maka tak heran bila galampang selalu dipenuhi oleh penggemar Tuak. Namun sayangnya tidak sedikit pengelolah warung di galampang juga menjadikan galampang sebagai tempat untuk berjudi atau melakukan transaksi kupon putih. Sekalipun demikian tak mengurangi pengunjung untuk datang menikmati makanan ala Toraja di galampang.

 Pa'piong

TORAJA atau To Riaja, yang berarti orang yang berdiam di negeri atas, memiliki menu khas. Salah satunya pa’piong bai. Tersedia pa’piong daging, ikan, dan ayam yang dicampur dengan daun mayana, kemudian dimasak dengan cara dibakar di dalam bilah-bilah bambu.

Salah satu kedai yang menyediakan menu khas Toraja ini adalah Pong Buri’. Kedai yang terletak di Jalan Emi Saelan Nomor 1 Rantepao, Toraja, ini menyediakan berbagai menu khas Toraja yang jarang ditemui di kedai lain, apalagi di luar Toraja.

Meski berukuran kecil dan hanya menampung maksimal 30 orang, Pong Buri’ yang buka sejak 20 tahun silam ini selalu ramai. Saat jam makan siang, orang bahkan harus mengantre untuk menikmati pa’piong. Tak hanya orang Toraja yang pulang kampung yang kerap bernostalgia di Pong Buri’, wisatawan juga tidak ketinggalan turut mengantre.

Dari penampilan luarnya, pa’piong bai serupa dengan pepes yang dibungkus daun pisang. Perbedaannya, olahan cacahan daging dan jeroan babi atau ikan atau juga ayam yang sudah dibungkus daun pisang ini kemudian dibakar di atas perapian kayu dalam wadah bambu.

Salah satu keunikan pa’piong bai memang terletak pada cara pengolahannya yang menggunakan bambu. Pa’ piong bai dimasak dalam ruas-ruas bambu dengan tungku tradisional dan arang. Bambu sengaja didatangkan dari kampung-kampung di Toraja. Satu ruas bambu berdiameter lebih kurang 10 sentimeter ini bisa menjadi wadah bagi 8-10 bungkus pa’piong.

Bambu berisi pa’piong kemudian dibakar selama 1,5 jam hingga seluruh bagian permukaan bambu gosong menghitam. Dengan sekali tusukan pisau pada bambu, seluruh lemak cair segera keluar sehingga diperoleh rasa daging yang kering, kesat, dan gurih.

Bumbu tradisional

Rasa gurih daging berpadu dengan rasa asam-asam yang tercipta dari campuran bumbu daun mayana. Penampilan daun mayana ini mirip dengan lalapan popohan yang banyak dijumpai di Jawa Barat, tetapi terasa pahit jika dimakan mentah-mentah.


KOMPAS/LASTI KURNIA Warung Pong Buri’ di Jalan Emi Saelan, Rantepao, Toraja, Sulawesi Selatan, Senin (28/4/2014).
Keseluruhan proses memasak pa’piong memakan waktu setidaknya 3-4 jam. Anak pemilik kedai Pong Buri’ menuturkan, persiapan untuk memasak pa’piong bai dimulai sehari sebelum disajikan. Rangkaiannya dimulai dari memotong babi kemudian memasaknya dengan aneka bumbu, seperti bawang dan cabai.

Pagi hari, sebelum kedai dibuka untuk pengunjung, pa’piong dimasak di dalam bambu yang telah disediakan sebelumnya. Pemilik kedai, Pong Buri’, hingga kini masih turut meramu pa’piong di rumahnya yang terletak tak jauh dari warung. Setelah dimasak, aromanya yang menguar di udara menerbitkan selera.

Tak hanya pa’piong, warung Pong Buri’ juga menyediakan olahan babi lainnya yang dijuluki pamarasan dari potongan daging pantollo duku bai atau potongan daging babi berukuran besar yang dimasak dengan kluwek. Daging babi pamarasan disajikan seukuran sekepal tangan.

Karena menggunakan bumbu kluwek yang menghasilkan kuah pekat berwarna coklat kehitaman, sekilas menu ini mirip dengan rawon. Tak hanya daging babi, olahan ala pamarasan juga tersaji dengan bahan baku ikan mas. Ikan mas pammarasan pun tak kalah lezat dengan sensasi gurih pedas.

Bagi pengunjung yang tak mengonsumsi daging babi, Pong Buri’ juga menyediakan berbagai menu tradisional pilihan, seperti ikan mas cabe dengan lombok katokon yang ekstra ”pedih” serupa ikan mas balado. Dendeng kerbau atau ayam kampung masak paria (dengan campuran sayur pare) juga dapat dicoba.

Kafe Aras

Dalam sehari, Pong Buri’ menghabiskan bahan baku berupa satu ekor babi, 20-25 ekor ayam, dan 60 ekor ikan mas. Selain Pong Buri’, salah satu kafe yang terletak di pusat kota Rantepao, yaitu Kafe Aras, juga menyediakan menu pa’piong bai. Namun, berbeda dengan Pong Buri’ yang selalu siap sedia ketika pa’piong bai dipesan, Kafe Aras membutuhkan waktu lebih lama untuk menyediakan pa’piong.

KOMPAS/LASTI KURNIA Pa’piong yang dimasak di dalam bambu.
Pemilik kafe, Aras Parura, menyarankan agar pengunjung sabar menunggu atau sebaiknya memesan pa’piong melalui telepon terlebih dahulu sebelum tiba di kafe. Pa’piong bai baru akan tersedia setelah empat jam sejak konsumen menelepon. Pa’piong ini dimasak oleh koki lokal Toraja.

Berbeda dengan pa’piong bai khas Pong Buri’, pa’piong bai Kafe Aras disajikan dalam potongan yang lebih rapi. Namun, penampilan luarnya relatif sama. Selain pa’piong, kafe ini pun menyediakan menu khas Toraja lainnya, seperti sayur tumis paku-pakuan dan ikan pamarasan. Bedanya, sebagai pengganti ikan mas yang banyak durinya, Kafe Aras menggunakan ikan kakap merah yang lembut di lidah.

Thursday, 4 September 2014

Lada Katokkon dan Lada Barra



Lada Katokkon

Hampir semua orang mengenal cabe, salah satu tanaman sayur atau bumbu masak. Buah muda berwarna hijau tua, putih kehijauan, atau putih, buah yang sudah masak berwarna merah . Jika cabe dibelah, akan menemukan tangkai putih di dalamnya yang mengandung zat capsaicin yang seperti minyak dan menyengat sel-sel pengecap lidah. Zat inilah yang mengakibatkan cabe menjadi pedas dan panas di lidah ketika konsumsi.
Cabe mengandung vitamin C dan A Selain itu cabe berkasiat menambah nafsu makan,menormalkan kembali kaki dan tangan yang lemas, batuk berdahak,melegakan rasa hidung tersumbat pada sinusitis dan migrain. (Cabe Rawit)
Di Toraja cabe dikenal dengan nama lada. Ada dua jenis lada yang khas yaitu : Lada Katokkon dan lada Barra’. Lada dipergunakan sebagai bumbu masak pada masakan Toraja seperti pa’piong, patollo pamarrasan, tollo lendong, utan tuttu’ atau tu’tuk lada .
Lada Katokkon
Lada Katokkon memiliki warna kehijauan saat buah masih muda lalu berubah warna menjadi orange dan berwarna merah ketika matang. Rasanya super pedasss sampai air mata keluar saat mencicipinya.
Kalau diperhatikan lada katokkon mirip seperti keluarga cabai “habanero” (perlu penelitian lebih lanjut hehehe). Cabai atau cabe habanero merupakan cabe yang menempati urutan ke-2 (kedua) dan urutan ke-3 (ketiga) terpedas di dunia. (TOP 10 Cabe Terpedas Di Dunia).
Ini dia… Savina Merah habanero menempati urutan ke dua
Cabe ini adalah varietas khusus dari cabe Habanero, yang dikembangbiakkan khususagar mendapat cabe yang lebih pedas, besar dan berat. Frank Garcia di Walnut, California adalah pengembang cabe Red Savina ini. Metodenya masih rahasia dan tidak diketahui umum. Cabe ini memegang rekor sebagai cabe terpedas di dunia dari tahun 1994 sampai 2006 dan dicatat oleh Guinness World Records. Namun pada Februari 2007, cabe ini harus turun dari singgasananya, dikalahkan oleh yang ada saat ini di peringkat 1 Naga Jolokia (Bhut Jolokia).
Kalo ini Habanero pepper urutan ketiga
Cabe ini adalah salah satu cabe yang amat pedas pada genus nya, yaitu capsicum. Saat mentah berwarna hijau, saat matang warnanya oranye atau merah. Namun kadang terlihat juga warna putih, coklat dan bahkan pink! Ukuran panjang sekitar 2-6 cm. Cabe ini banyak berasal dari Yucatan dan daerah sekitar pantainya. Nama cabe ini berasal dari kota di Cuban, kota di La Habana. Walaupun tempat itu bukanlah tempat asalnya, namun cabe ini banyak deperjualbelikan disana.
Coba kalo dibandingkan dengan lada katokkon rada miripkan !!!!
Lada Barra’
Lada barra’ (barra’ dalam bahasa toraja berarti beras). Lada barra’ berarti cabe beras . Lada barra memiliki ukuran yang kecil dibanding cabe rawit, kurang lebih seperti beras sehingga disebut lada barra. Tapi.. soal rasanya makkkyuss benar , jauh lebih pedas dari cabe rawit.
Lada Barra’ memiliki warna hjau tua saat buah masih muda lalu berubah warna menjadi orange dan berwarna merah ketika matang.
Kalau cabe rawit menempati urutan keempat nih
Thai Pepper dalam bahasa Indonesia. Cabe Rawit, Sunda. Cengek, Thailand Thai. phrik khi nu, Tagalog. siling labuyo. Cabe ini banyak terdapat di Thailand dan tetangganya seperti Kamboja, Vietnam, Indonesia, dan sekitarnya. Ternyata orang Indonesia memang kuat pedas, buktinya cabe yang biasa “dimakan” sehari-hari saja berada di ke-4.
Tingkat kepedasan cabai dapat di ukur dengan menggunakan skala Scoville Heat Unit. Skala ini ditemukan pada tahun 1912 oleh seorang ahli kimia berkebangsaan Amerika, Wilbur Scoville dengan menggunakan metode Scoville Orgaoleptic Test. Metodenya cukup sederhana, yaitu dengan mencampur ekstrak cabai dengan air gula. Campuran ini kemudian di ukur kepedasannya oleh para panelis yang biasanya terdiri dari 5 orang. Air gula akan di tambahkan secara terus menerus hingga rasa pedas tidak terdeteksi oleh para panelis tersebut.
Tingkat pencampuran itu memberikan ukuran bagi skala Scoville ini. Cabai manis yang tidak mengandung capsaicin sama sekali, pada skala Scoville nilainya nol. Sebaliknya, cabai yang mempunyai peringkat 300.000 menunjukkan bahwa ekstraknya harus dicampurkan 300.000 kali lipat sebelum capsaicin yang hadir di dalamnya tidak terasa lagi. Metode ini masih memiliki kekurangan karena adanya potensi subyektivitas dari panelis yang menguji.

Lada Barra